Oleh SHIDARTA (Desember 2016)
“Une nation est donc une grande solidarité, constituée par le sentiment des sacrifices qu’on a faits et de ceux qu’on est disposé à faire encore. Elle suppose un passé ; elle se résume pourtant dans le présent par un fait tangible : le consentement, le désir clairement exprimé de continuer la vie commune.”
Ucapan Ernest Renan di atas disampaikan saat orasi dies Universitas Sorbonne tanggal 11 Maret 1882. Ketika itu Renan mencoba mencari jawaban tentang “apakah bangsa itu” (qu’est ce qu’une nation). Terjemahan bebas dari kutipan di atas kurang lebih sebagai berikut: “Jadi, sebuah bangsa adalah suatu solidaritas besar, yang dibentuk oleh kesadaran bahwa solidaritas tersebut merupakan buah pengorbanan banyak orang dan kesediaan dari banyak orang untuk berkorban lagi [guna mempertahankannya]. Hal Ini sepertinya mengacu pada kejadian di masa lampau, tetapi sebenarnya adalah kenyataan yang dapat dipegang sekarang, yaitu suatu kesepakatan, berupa keinginan tegas untuk melanjutkan hidup bersama (sebagai suatu bangsa).”
Saat ini, kesadaran kita sebagai bangsa Indonesia sedang dipertanyakan banyak pihak. Apa yang disebut Renan dengan ‘sebuah solidaritas besar’ (une grande solidarité) tengah diaduk-aduk oleh berbagai peristiwa yang mengusik nurani kebangsaan kita. Dan, terasa makin banyak elemen masyarakat yang kehilangan kesadarannya bahwa gangguan terhadap solidaritas besar itu membahayakan eksistensi bangsa ini. Sebab, runtuhnya solidaritas besar tersebut adalah runtuhnya memori sejarah bahwa bangsa ini telah berdiri dengan susah payah di atas pengorbanan banyak pahlawan. Sekaligus, hal itu berarti runtuhnya kesediaan anak-anak bangsa saat ini untuk rela berkorban lagi guna mempertahankannya.
Perlu dicatat bahwa Indonesia adalah sebuah negara yang dilahirkan oleh suatu bangsa. Jadi, konsep bangsa Indonesia sudah ada terlebih dulu, baru kemudian menyusul konsep bernegara. Soekarno-Hatta memproklamasikan berdirinya negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, bukan atas nama mereka berdua, melainkan atas nama bangsa Indonesia. Jika dirunut pada sejarah, dapat saja kita katakan bahwa Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 merupakan titik berangkat dari kesepakatan untuk berbangsa Indonesia itu. Sumpah ini adalah sumpah untuk membangun solidaritas besar, dengan menjadikan semua orang yang mengaku dirinya “Indonesia” memiliki kesadaran yang sama pula untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu.
Salah seorang tokoh kemerdekaan Indonesia, Prof. Sunario, pernah pula menerjemahkan karya Renan ini ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkannya pada tahun 1968, Ini berarti pemikiran Renan sudah tidak asing lagi bagi para pendiri negara ini. Dengan sendirinya berarti pula konsep berbangsa atas dasar ras, bahasa, agama, kelompok kepentingan, geografis, yang sudah dipandang usang (obsolete) oleh Renan, juga telah mereka tampik untuk dijadikan dasar fondasi kebangsaan Indonesia itu.
Jadi, tali perekat untuk tetap menjadikan Indonesia sebagai bangsa ada pada daya perekat yang disebut oleh Renan sebagai solidaritas besar itu. Solidaritas hanya terbangun abadi jika semua kepentingan saling terhubung dan membuka diri untuk dimasuki oleh semua komponen bangsa. Inilah hakikat tiga dari empat pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang (maaf) sudah mulai lenyap dari kesadaran kita sebagai bangsa.
Pokok pikiran pertama adalah negara persatuan. Pokok pikiran ini menegaskan bahwa negara yang didirikan oleh bangsa ini adalah negara persatuan. Negara yang mengakomodasi berbagai keanekaragaman dari sudut etnisitas, agama, bahasa, dan lain-lain. Oleh sebab itu, semua bentuk upaya untuk menghilangkan pokok pikiran ini adalah gerakan yang merusak tataran solidaritas besar bangsa.
Pokok pikiran kedua adalah keadilan sosial. Pokok pikiran ini menggarisbawahi tujuan berdirinya negara ini, yaitu menuju ke kondisi masyarakat yang berkeadilan sosial. Oleh sebab itu, semua bentuk upaya yang memberangus tataran aksiologis berbangsa ini, harus juga ditentang. Tidak boleh ada satu elemenpun di masyarakat ini yang diperlakukan secara tidak adil. Keadilan sosial tidak diukur dari banyaknya orang. Jika itu yang dijadikan tolok ukur, maka solidaritas besar sebagai bangsa akan runtuh, karena kekuatan banyaknya massa selalu dipakai sebagai legitimasi untuk berbuat apa saja, yang tidak tertutup kemungkinan diinisiasi oleh kepentingan sempit jangka pendek.
Pokok pikiran ketiga adalah demokrasi (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan). Pokok pikiran ini mengaksentuasi dimensi epistemologi kita dalam membangun negara ini. Bahwa, di dalam negara ini ada aturan main yang harus dihormati. Negara tidak boleh bermain-main kekuasaan secara otoriter. Jika negara yang diberi kewenangan untuk menggunakan kekuasaan publik saja dilarang untuk berlaku sewenang-wenang, apalagi jika yang bermain-main kekuasaan itu adalah eksponen non-negara. Tindakan ‘main hakim sendiri’ oleh satu komponen masyarakat terhadap komponen masyarakat yang lain merupakan tindakan yang anti-demokrasi, dan hal ini sungguh-sungguh merusak solidaritas besar kita sebagai bangsa.
Jalan yang kemudian ditempuh untuk memberi ruang bagi masyarakat mengekspresikan diri adalah dengan menjadikan negara ini sebagai negara hukum. Tidak hanya negara hukum yang ditetapkan secara formal saja, melainkan negara hukum yang memuat muatan substansialnya. Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD 1945, dapat dipandang sebagai muatan substansial yang khas Indonesia, yakni dengan memasukkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Kembali kepada wacana ‘solidaritas sosial’ yang disampaikan oleh Renan; maka dapat disimpulkan bahwa bangsa ini akan bertahan saat ini sebagai bangsa jika sebagian besar dari anak-anak bangsanya masih memiliki kesediaan untuk berkorban mempertahankan eksistensinya untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa. Kita meyakini bahwa kesediaan berkorban ini masih ada dan tetap ditunjukkan dalam banyak kesempatan, termasuk dengan gerakan-gerakan perlawanan terhadap perilaku anarkistis dan aksi main hakim sendiri oleh beberapa kelompok organisasi massa. Namun, kesediaan ini merupakan urusan jiwa. Renan menyebutnya sebagai jiwa atau prinsip rohani (Une nation est une âme, un principe spirituel). Oleh sebab itu, jiwa berbangsa ini harus dijaga oleh negara dengan memelihara keseimbangan peran kelompok-kelompok aset yang ada di negara kita.
Renan pernah mengindentifikasi kelompok kepentingan (la communauté des interets) ini sebagai salah satu indikator yang dapat diperhitungkan bagi tumbuhnya suatu bangsa. Saya sendiri menilai, kelompok kepentingan ini memang tidak signifikan untuk mencuatkan lahirnya suatu bangsa, tetapi kelompok kepentingan ini memainkan peran utama dalam menjaga solidaritas besar suatu bangsa, tatkala bangsa itu sudah eksis dan mengorganisasikan dirinya ke dalam negara.
Menurut D.B. Grusky (lihat link pada referensi di bawah), pada suatu masyarakat terdapat setidaknya tujuh kelompok kepentingan, yang disebutnya sebagai kelompok aset (asset group). Mereka dibedakan menjadi kelompok bidang ekonomis (economic), politis (political), budaya (cultural), sosial (social), kehormatan (honorific), keperdataan (civil), dan sumberdaya manusia (human).
Pada hakikatnya, untuk menjaga solidaritas besar berbangsa tetap sehat dan konstruktif, tidak boleh ada satu golongan masyarakat pun yang secara stereotipe diposisikan hanya menguasai suatu aset sosial ini. Sebagai contoh, pelaku ekonomi di Indonesia harus tersebar luas menjangkau semua kelompok sosial, demikian juga dengan pelaku politik, dan seterusnya. Sudah tidak zamannya lagi jika ada kelompok sosial tertentu sengaja didorong atau sebaliknya dicegah untuk menekuni bidang tertentu saja.
Kita mendambakan pelaku-pelaku besar ekonomi Indonesia dipenuhi oleh anak-anak muda Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Mereka berkolaborasi sekaligus berkompetisi secara sehat untuk memanfaatkan setiap peluang usaha di Indonesia dan mancanegara. Demikian juga dengan panggung-panggung politik kita juga dipenuhi dengan orang-orang cerdas dan jujur dari berbagai latar belakang, yang hadir untuk ikut membangun solidaritas besar bangsa Indonesia. Forum budaya, sosial, dan seterusnya juga demikian halnya. Inilah struktur masyarakat yang saling menyilang (cross-cutting society) yang seyogianya kita terus upayakan hadir di negeri ini. Struktur masyarakat yang menyilangkan berbagai kelompok sosial untuk masuk ke dalam aneka kelompok kepentingan (bandingkan dengan Nasikun, 2000: 86-87).
Terlepas dari gagasan ideal tersebut, harus disadari bahwa sekat-sekat primordial memang sangat potensial untuk mengoyang solidaritas besar ini. Unsur primordial berupa agama, misalnya, tidak akan menimbulkan masalah sepanjang para pemuka agama masih mampu menempatkan diri sebagai pemilik aset yang terhormat (honorific asset group). Sejarah membuktikan bahwa kelompok aset ini justru kerap menjadi duri dalam daging ketika mereka tidak lagi mampu bertahan sebagai kelompok sosial yang layak dihormati.
Ciri-ciri degradasi seperti ini bisa terlacak apabila label agama hanya difungsikan secara formal tanpa peran untuk mencerahkan. Agama tidak lagi membawa suasana menyejukkan, tetapi sebaliknya menyesakkan. Agama justru dipakai untuk melegitimasi tindakan-tindakan destruktif terhadap solidaritas berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai keadaban yang harusnya dijaga, diganti dengan provokasi dan [boleh jadi] caci maki. Pemuka agama tipe ini hanya meminjam sementara wadah yang honorific tersebut; sebab jatidiri mereka sebenarnya adalah pemain peran di ‘economic’ atau ‘political asset group’. Dengan perkataan lain, agama hanya dijadikan alat berpolitik dan mencari keuntungan ekonomis bagi kelompoknya sendiri. Sejarah berbagai bangsa memberi referensi cukup banyak tentang hal ini, sebagaimana misalnya terjadi di Abad Pertengahan, yakni tatkala institusi agama dan politik dipenuhi oleh figur-figur korup yang menggerus kepercayaan publik.
Bangsa Indonesia harus mewaspadai hal-hal seperti ini. Bangsa ini sangat perlu terus menjaga solidaritas besarnya dengan cara-cara rasional dan beradab. Sebab, bangsa ini memang didirikan dengan pengorbanan orang banyak dan tekad kuat untuk hidup bersama. Selamanya! (***)
Ernes Renang, Apakah Bangsa Itu? (terjemahan Sunario). Bandung: Alumni, 1994.
Ernerst Renan, “Qu’est ce Qu’Une Nation?”
Ernest Renan, “What is a Nation?”, text of a conference delivered at the Sorbonne on March 11th, 1882, in Ernest Renan, Qu’est-ce qu’une nation?, Paris, Presses-Pocket, 1992. (translated by Ethan Rundell).
D.B. Grusky, “Social Stratification.”
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.
KAGAMA memberikan apresiasi atas berbagai skema program bantuan sosial untuk warga yang terdampak. Program perlindungan sosial ini sangat membantu meringankan beban warga yang terpukul akibat krisis ekonomi. KAGAMA berharap agar berbagai inisiatif dari masyarakat untuk saling membantu sesama yang sedang kesulitan itu terus didorong.
Ketua Umum Pengurus Pusat Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada ( PP KAGAMA), Ganjar Pranowo, menyampaikan hal tersebut dalam sambutannya sekaligus membuka acara Rapat Kerja Nasional (Rakernas) KAGAMA pada Sabtu (12/12/2020). Rakernas KAGAMA dilaksanakan secara daring diikuti oleh lebih dari 400 orang Pengurus Kagama dari semua tingkatan baik yang berdomisili di dalam negeri maupun luar negeri
Ganjar mengatakan KAGAMA, organisasi yang ia pimpin, telah menginisiasi program chantelan yang memungkinkan semua orang, termasuk segmen masyarakat kecil bisa ikut membantu, terutama untuk menyediakan kebutuhan bahan-bahan pokok. Termasuk di sini, kata Ganjar, Program Kagama Lari untuk Berbagi. Program lainnya seperti gerakan donasi yang digalang melalui program menyanyi dan menari. Tujuan dari kegiatan ini menggalang dana sebagai wujud kepedulian kepada sesama.
Komunita-komunitas ini kata dia aktif berkegiatan, dilakukan oleh kagama di seluruh dunia yang mana hampir tiap hari melakukan webinar.
“Ini membanggakan. Sampai ada alumni perguruan tinggi lain bilang ke saya itu kok Kagama aktif sekali. Saya jawab iya sebab mereka dihimpun bukan oleh sebuah ikatan tapi dihimpun dalam sebuah keluarga.”
“Mereka diikat oleh memori masa kuliah dulu yang rata-rata menjalani kuliah dengan tidak mudah. Kemudian relasi kemanusiaan dan kekeluargaannya terbangun sangat baik. Sehingga ketika sekarang mereka dalam posisi-posisi yang lebih baik dan menentukan bisa membantu,” kata Ganjar.
Menurut Ganjar, solidaritas sosial adalah kekuatan bangsa Indonesia untuk bertahan. Modal sosial ini perlu dirawat dengan sebaik-baiknya. Karena tidak mungkin semuanya tergantung pada dana APBN/APBD.
Inisiatif dari berbagai kalangan masyarakat untuk bergotong-royong harus terus hidup dalam masyarakat Indonesia.
“Maka sekaligus ini bisa sebagai evaluasi total untuk kita membawa arah kontribusi pada bangsa dan negara. Tidak hanya membawa momentum untuk berdikari sehingga anak-anak bangsa bisa menunjukkan bagaimana berkontribusi yang terbaik untuk bangsanya. Eh pangannya kita beresin yuk, politik kesehatannya kita beresin. Kita punya kawan-kawan hebat, punya guru-guru yang selalu membimbing kita semua di Bulaksumur. Yuk persoalan ini kita pecahkan. Dan kita bisa mendorong membuat wadah sebagai tempat kita bisa berdiskusi dengan sangat baik ,” kata Ganjar.
Alumnus Fakultas Hukum UGM ini mengatakan modal sosial tersebut bisa digunakan untuk mendorong gerakan bangga pada produk sendiri. Wujud dari Gerakan ini dengan membela dan membeli produk dalam negeri seperti produk UMKM agar bisa terus hidup dan bangkit. Dengan jumlah penduduk hampir 270 juta, Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar. Penduduk yang besar adalah kekuatan. Gerakan bangga membela produk Indonesia, kata dia, perlu terus digaungkan, khususnya produk dari UMKM.
“Setiap hari minggu saya jualan di instagram dengan hashtag Lapak Ganjar. Ternyata luar biasa. Saya menemukan banyak kawan Kagama yang membantu desanya dengan ide yang brilian. Dengan cara ini kita punya kesempatan berdikari,” kata Ganjar.
“Kalau ada kawan kita punya produk yuk kita beli. Sehingga konsumsi meningkat dampaknya ekonomi jadi lebih baik,” pungkasnya. [hmk]
*) Pidato ini disampaikan Ganjar Pranowo dalam Rakernas PP KAGAMA Sabtu 12 Desember 2020
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
%PDF-1.6 %���� 2071 0 obj <> endobj 2078 0 obj <>/Filter/FlateDecode/ID[<6E7F7A03E5B6EF116A801B6791E6742F><3ADB70A62316CA47A72416A1E0B675D5>]/Index[2071 13]/Info 2070 0 R/Length 62/Prev 8770644/Root 2072 0 R/Size 2084/Type/XRef/W[1 3 1]>>stream h�bbd```b`��"2A$���"��IF��@���yL���*Q��?�0 G� � endstream endobj startxref 0 %%EOF 2083 0 obj <>stream h��Xkp���y�Cڇl����!cK��0ZAMH&P Vy����LIKl�0(����1�4�@� ZDhL<�X$���q*��� `Ic0�{�!iM:��?���{Ͻ���|绞�E%ៈRJ���(q��-?D ��J���r�I���d؈�����9��7�i1����OO� ����eR(� �SB���@�RT a+فjA!e1z�d��HƯ�;v]��Ҏ � &���j��%2_��DɜH��DD�ӃP�R�����J�~� e^��p��!zqҟX�7h�5N��~e��~�-(��#�� ye�<�ɉֲ��0��,�I,�+(��0E2E��0/��%��� 3 �����. A2=�0�qs��$4��d����hH� 9��ӟ�m} R%�[�C�:�0L�K��)�b�U�]2�AVe�?`Ls�~��.rd�/P/kڈ\^z"�y�1!�ӳ�by�E�+����bJ� ���R���Sc"�a��� (j����=s`���Bt Ƒ�J�T�O�(�2��y`P���R�`Li���0�Ÿ�H��C^`�i�u����i?���P���� ��`@�4��ڇ��t2{�u1}�"o@n��8��\�.�`��OѻAS%��N�K�f0zSt�āL({���^�Q~���L���!��P���w ��M2�p�R�E�،��Ԑ�>���Q�O?��� �*Џ�-L׃��!�{�q}Wm���6ä�]'��#�!��"( 3�`����,u� M@���c�8�b��&o�yt5��5PA����it:L=9��u(��@��,@l���GF<�`�&